GARUT, RADARTASIK.ID – Di tengah kesejukan pegunungan Cisurupan, Kampung Naringgul di Desa Pakuwon, Kabupaten Garut, menunjukkan bahwa limbah bisa jadi berkah.
Siapa sangka, limbah gedebog pisang di Kampung Naringgul yang selama ini hanya dianggap sampah, justru menjadi sumber ekonomi baru yang menjanjikan bagi warga setempat.
Inovasi ini tak lahir begitu saja.
Berawal dari inisiatif masyarakat melalui bank sampah yang sudah aktif sejak 2013, warga kemudian menjalin kolaborasi dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yayasan Seratnusa, dan sejumlah komunitas lokal.
Bersama-sama, mereka mengembangkan teknologi sederhana untuk mengolah batang pisang menjadi serat yang bisa digunakan dalam produk kerajinan bernilai ekonomi.
Deni Susanto, Ketua Organisasi Rapekan Kampung Naringgul, menuturkan, upaya ini berangkat dari semangat swadaya.
Kelompok yang awalnya hanya fokus pada pengumpulan sampah kini telah bertransformasi menjadi pengelola limbah produktif.
”Ke depan semoga terbentuk UMKM-UMKM inovatif yang memanfaatkan limbah pertanian jadi produk bernilai ekonomi,” ungkapnya, Jumat, 4 Juli 2025.
Dukungan dari BRIN pun menjadi elemen penting dalam proses ini.
Direktur Pemanfaatan Riset dan Inovasi pada Kementerian/Lembaga, Masyarakat, dan UMKM BRIN, Driszal Fryantoni, menyebutkan, kegiatan ini merupakan bagian dari program Koleksi Bumi, yang fokus membantu UMKM melalui solusi berbasis teknologi.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah soal konsistensi ketebalan serat dari batang pisang. ”Karena selama ini diolah manual,” terang Driszal.
Untuk menjawab tantangan itu, BRIN memperkenalkan teknologi pengepresan dan pengeringan yang menghasilkan serat dengan kualitas standar.
Tak hanya itu, bahan pewarna alami dari daun jati pun digunakan untuk memperkaya tampilan produk.
Pendekatan ini tidak hanya menyasar penyelesaian teknis, tetapi juga membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya standarisasi jika ingin menembus pasar nasional maupun internasional.
Peneliti Ahli Utama BRIN, Sukma Surya Kusmah, menambahkan, riset mengenai serat pisang telah dilakukan sejak tiga tahun terakhir.
Ia menjelaskan, meskipun prosesnya tergolong sederhana—yakni melalui pelunakan batang pisang, pengukusan, pengepresan, pewarnaan, lalu pengeringan—namun tantangan utamanya adalah ketidaktahuan masyarakat mengenai pentingnya konsistensi hasil akhir.
Dengan proses yang kini lebih seragam dan efisien, masyarakat dapat menghasilkan produk yang lebih berkualitas.
Sukma juga mengungkapkan, respon dari warga sangat positif, karena teknologi ini menggantikan metode manual yang sebelumnya tidak stabil dan memakan waktu.
Gita Noerwardhani, Founder Seratnusa, menyoroti, semangat ini berasal dari gerakan bank sampah di Garut.
Namun, seiring waktu, ia menyadari bahwa pengelolaan sampah saja belum cukup menopang ekonomi para pengurusnya.
Awalnya, mereka bercita-cita membuat kain dari limbah pisang, namun karena prosesnya cukup panjang, maka mereka memulai dari produk kerajinan terlebih dahulu.
Keraguan sempat muncul saat awal kerja sama dengan BRIN, mengingat lembaga ini dikenal lebih banyak berkutat di sektor pangan.
Namun setelah melalui proses kurasi, Seratnusa akhirnya mendapat pendampingan teknologi yang sangat dibutuhkan. (Agi Sugiana)
sumber berita: https://radartasik.id/2025/07/06/gedebog-pisang-disulap-jadi-serat-mahal-warga-garut-bikin-kagum/